Minggu, 25 Mei 2008
Assalamualaikum wr. wb. Saya adalah pengikut Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah (PP Suralaya, Tasikmalaya) yang ingin sekali mencapai cita-cita tasawuf yaitu makrifatullah menyeluruh, termasuk suluk (jalan ke arah kesempurnaan batin), zuhud dan memperbanyak zikir kepada Allah. Namun saya juga seorang ayah dua anak yang masih balita, sehingga sulit sekali mengatur waktu untuk kedua hal tersebut. Padahal dalam batin, saya tersiksa oleh kerinduan melihat Al-Haq, Allah SWT. Mohon kiranya Habib membantu memberikan jalan keluar sekaligus mendoakan saya agar Allah berkenan memakmurkan jasad, ruh, dan sirr (hal yang gaib dan tersembunyi) saya dalam ketaatan, mahabbah (kasih sayang), makrifat, dan musyahadah (penyaksian). Mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Habib.
Wassalamualaikum wr. wb.
Jawaban :
Waalaikum salam wr. wb. Insya Allah akan saya doakan, dan saya mendukung apa yang menjadi cita-cita Anda. Tapi perlu diingat, kewajiban, harapan dan dambaan anda bukanlah untuk pribadi saja. Anda dan istri Anda adalah harapan dan kebanggaan di dunia sampai akhirat nanti. Beruntunglah seorang bapak atau kedua orang tua yang bisa mencetak putra-putrinya menjadi generasi yang utama, baik bagi umat Islam khususnya maupun bangsa pada umumnya. Sehingga mereka tidak akan memalukan kedua orang tuanya di hadapan Allah SWT. Dari itu, saya kira, merupakan harapan semua orang. Namun, tanpa didukung sarana yang berbentuk materi, mungkin keinginan Anda akan sedikit tersendat. Sebab, sarana itu pula yang akan menjadi sebab peningkatan diri kepada Allah SWT, walaupun tidak harus terfokus ke sana. Seperti ketika kita ingin berhaji, atau membayar zakat, hal tersebut tentu tidak terlepas dari urusan dunia. Maka dalam menempuh dan menggapai cita-cita, pelihara dan pupuklah niat yang baik itu di dalam hati Anda, jangan sampai niat yang baik itu tercampuri emosi atau nafsu, dukunglah niat iut dengan pancaran kecintaan kita kepada Allah dan Rasulullah SAW, dan angkatlah sesuai dengan kemampuan kita, dari mana harus memulai, jangan membebani dan memberatkan diri sendiri sebelum waktu kemampuan itu ad
Rabu, 12 Desember 2007
“Katakanlah, jika kamu mencintai Allah...” (Ali Imrân: 31). Ketika ayat ini turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad (saw), “Mâtta akuunu mu’minan shâdiqan?” atau “Bilamanakah aku menjadi mukmin yang sesungguhnya?” Dijawab oleh Baginda Nabi (saw), “Idza ahbabtallâh,” atau “Apabila engkau mencintai Allah.” Selanjutnya sahabat itu bertanya lagi, dan dijawab oleh Rasuluflah (saw), “Orang itu mencintal Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”
Dan akhirnya, Nabi Muhammad (saw) bersabda lagi, “Wâyatawaffatuna fil- ‘Imâni qadri tawannutihim fi mahabati,” atau “Dan keimanan mereka bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah.” Itu diucapkan sampai tiga kali oleh Rasulullah (saw). Hadits itu melanjutkan bahwa kadar bobot iman seseorang, tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Muhammad (saw). Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenciannya kepada beliau (saw). Kalau kecintaannya kepada Rasulullah (saw) bertambah, keimanannya kepada Allah (Swt) pun akan bertambah. Bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya. Maka, apabila kita melihat ayat, “Katakanlah Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampunimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imrân: 31). Lalu bagaimanakah cara mencintai Allah dan apa yang terkandung di dalam makna mencintai tersebut? Jawabannya, di antaranya bahwa Allah dan Rasul-Nya jelas tidak bisa dipisah-pisahkan. Kalau seseorang mencintai Allah, pasti dan harus mencintai Nabi-Nya. Dan tentu saja, dia akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintai Rasul-Nya. Di sinilah pengertian tarekat yang sebenarnya, yakni untuk membimbing orang itu mencapai keimanan sempurna. Keimanan terbentuk secara terbimbing. Di situlah peran para mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, makrifat kita, tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri, sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut. Bagaimana orang yang tidak bertarekat? Saya jelaskan dulu, syaratnya bertarekat itu harus tahu syariat dulu. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh individu sudah dipahami. Di antaranya, hak Allah (Swt): wajib, mustahil, dan jaiz (berwenang). Lalu hak para rasul, apa yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi mereka. Setelah kita mengenal Allah dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang disampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga kita mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu’, dan lainnya Namun Anda harus bisa membedakan, orang yang menempuh jalan kepada Allah dengàn sendirian, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah bersama-sama, yaitu melalui seorang mursyid. Kalau kita mau menuju Mekkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah al-Mukarramah dan Madinah al Munawwarah, tentu berbeda dengan orang yang datang ke dua tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid. Orang yang tidak mengenal sama sekali kedua tempat itu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai mursyid akan lebih runtut dan sempurna, karena si pemimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun zamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lainnya. Meski seseorang itu sudah sampai di Ka’bah, namun kalau tidak tahu rukun zamani, dia tidak akan mampu untuk memulal tawaf, karena tidak tahu bagaimana memulainya. Itulah perbedaannya.
Senin, 10 Desember 2007
Islam itu agama do’a, hampir semua aktifitas kaum muslimin selalu diawali dan diakhiri dengan do’a. Mengapa demikian? Karena kaum muslimin menganggap hidup ini adalah dalam rangka menjalankan perintah Allah yang di dalamnya penuh dengan ibadah.
Berdo’a juga ibadah, Baginda Nabi pernah bersabda bahwa orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang sombong. Nabi bersabda : “Do’a itu adalah pedang (senjata) orang beriman”. Sebab dengan berdo’a, kita masih mempercayai Zat Maha Tinggi yang Maha Kuasa atas segala makhluk-Nya, Allah berfirman : Lantas bagaimanakah cara berdoa yang disukai Allah sehingga peluang terkabulkannya menjadi lebih dekat? Dalam beberapa kitab yang membahas tentang do’a seperti yang dikutip oleh oleh Mundzir Nadhir dalam Alwasa’il disebutkan bahwa ada 14 kunci agar Allah cepat mengabulkan permohonan. Pertama bacalah basmalah dan hamdalah atau pujian kepada Allah serta shalawat kepada Rasulullah, keluarga serta sahabatnya untuk mengawali permohonan, kedua , mohonlah ampunan atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuat dengan mengucapkan istighfar. Ketiga, sampaikan permohonan itu dalam keadaan suci, memiliki wudlu, bahkan apabila perlu dilakukan lakukanlah mandi taubat. Keempat sampaikan permohonan dengan hati yang khusu’ dan tertuju sepenuhnya kepada Allah. Kelima berdo’a dengan hati ikhlas, tanpa paksaan, penuh kecintaan serta kepatuhan kepada Allah. Keenam, menghadap kiblat, karena hal itu sangat disukai Allah. Ketujuh, membersihkan perut dari makanan yang haram, jika pernah makan atau minum sesuatu yang dilarang, wiski misalnya, kosongkanlah dahulu pengaruhnya seraya bertobat. Jika pernah makan makanan hasil korupsi atau hasil curian, misalnya, segeralah bertobat dan tak mengulanginya lagi.
Kedelapan, ucapkanlah permohonan dengan suara lirih bukan lantang, kesembilan, gunakanlah wasilah (perantara) melalui para Nabi dan orang-orang suci lainnya. Kesepuluh, saat berdo’a tidak memandang ke atas. Kesebelas, utarakan permohonan secara berulang-ulang dengan bahasa yang dimengerti dan tidak meminta hal-hal yang berbau maksiat, misalnya, memohon agar menang lotere dan lain sebagainya.
Keduabelas, merentangkan kedua tangan hingga sejajar dengan pundak selayaknya orang berdo’a. Ketigabelas, jika benar-benar ingin memohon kepada Allah, usahakan diawali dengan shalat sunah hajat, sebab, dalam beberapa hadist disebutkan, jika kita menginginkan pertolongan Allah, maka dirikanlah shalat 2 rakaat lalu mintalah kepada Allah. Menurut sabda Nabi, permintaan itu akan dikabulkan.
Keempat belas, harus yakin bahwa Allah mengabulkan do’anya, Sabda Rasulullah, “Berdo’alah kepada Allah dan kalian yakin Allah mengabulkannya.”
Kalangan sufi pernah berkata, “Dosa yang paling besar umat manusia adalah menganggap Allah tidak mengabulkan do’nya.” Karena do’a juga merupakan ibadah, maka do’a juga berpahala., karena itu, senantiasalah berdo’. Seandainya Allah belum juga mengabulkannya, maka kita sudah mendapatkan pahala berdo’a.
Allah sangat menyukai seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya.
Jadikanlah segala kebaikan melebihi kebutuhan makan, minum, dan pakaian. Tidak hanya shalat malam (Tahajjud), tapi juga segala kebaikan sunnah Nabi (saw). Kalau kita bisa menjalankan shalat Tahajjud, ya jangan dihentikan sunnah sunnah Nabi (saw) lainnya. Tingkatkan dulu kemauan kita melakukan ibadah sunnah itu seperti orang lapar. Kalau kita lapar, dikasih nasi dengan lauk sambal pun, atau nasi garam pun, makannya tetap merasa enak. Karena kita sangat memerlukan. Itu baru masalah nasi. Apakah kebutuhan kita tidak lebih banyak kepada si Pencipta nasi, yaitu Allah?
Nah, kita ikhtiar ini dulu, baru kemudian kita rangkai keinginan untuk melaksanakan ibadah sunnah, seperti shalat Tahajjud. Ikhtiar lainnya adalah membaca ayat terakhir surah Kahfi, “Katakanlah, sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku. Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah Ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah Ia mempersekutu seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. Ayat itu dibaca tujuh kali ketika akan tidur. Tentu saja, membacanya dengan sungguh-sungguh dan kemauan tinggi untuk bangun malam guna menjalankan shalat Tahajjud. Kita berdoa supaya kita dapat bangun. Tetapi kalau memang tidak mempunyai tekad yang kuat, barangkali juga tidak akan terlaksana. Mungkin saja kita bisa bangun tengah malam, kemudian berzikir, tetapi kemudian ngantuk dan tidur lagi. Kalau kita menginginkan keluarga kita bahagia, berbuatlah sebaik mungkin sebagai orangtua yang baik kepada anak-anaknya. Apabila sifat kebapakan atau keibuan itu tumbuh pada orangtua, itulah syarat akan munculnya keluarga yang mawaddah wa rahmah. Sekalipun pasangan suami-istri itu belum dikarunia rnomongan, belum mempunyai keturunan mereka sudah menyiapkan diri dengan sifat kebapakan atau keibuan. Boleh dikatakan, dengan bersikap kebapakan atau keibuan, mereka sudah menyiapkan teorinya. Nanti, begitu mendapatkan keturunan, mereka bisa langsung praktik. Ketika buah hati sudah tumbuh, kita akan cepat menggapai mawadah wa rahmah. Adanya kerja sama antara ibu dan bapak akan saling melengkapi, sehingga anak-anak akan rnengikuti teladan orangtuanya, yang dirasakan sangat lengkap.
Tarekat itu memiliki makna yang penting. Siapa sih yang ingin memiliki hati yang kotor? Dan siapa sih orang yang ingin hatinya melupakan dan semakin tambah lupa kepada Allah (Swt)? Di sinilah pentingnya tarekat yaitu melepaskan kedua penyakit hati yang sangat berbahaya. Jelasnya, untuk mengatasi kealpaan dalam hati dan menghilangkan noktah atau kotoran yang ada. Untuk menghapus hijab atau dinding pembatas yang terdapat dalam dirinya, yang mengakibatkan sifat lalai serta banyak lupa kepada Allah (Swt).
Kalau seseorang ingin hatinya bersih dan membersihkan hati, paling tidak Ia akan tertarik dengan tarekat itu sendiri. Karena di antara fungsi yang terdapat dalam tarekat itu adalah menghapuskan kotoran dalam hati dengan selalu mengamalkan zikirnya. Untuk tarekat Sadzâliyah, sudah saya buatkan kitabnya. Bentuk dan ukurannya yang kecil membuatnya mudah untuk dibawa. Kitab itu bisa didapat di Gedung Salawat di Pekalongan. Bisa dibaca mulai dan halaman 15 sampai 26. Wirid tarekat sebagian besar adalah kalimat Là llâha illallah atau Allah sebanyak yang ditentukan oleh tarekat itu sendiri. Ada yang mewiridkannya secara sirr(dalam hati/pelan) dan ada pula yang mewiridkannya secara jahr (keras). Jadi, wirid tarekat tidak ada yang baru. Kalaupun ada tambahan, hanya shalawat, Asma al-Husnâ, dan pembacaan Là hawla walaa quwwata illà billâh. Lalu, apakah dengan bertarekat—atau dengan mengamalkan wirid tarekat tertentu—itu tak boleh berdoa untuk meraih harta dan dunia? Kita harus ketahui bahwa meminta dunia—termasuk kekayaan, kesejahteraan—tidak dilarang dalam Islam. Doa Sapu Jagat yang kita kenal, Rabbanâ atinâ fid-dunyâ hasanah wa fil-âkhirati hasanah wa qinâ adzab an-nâr, adalah doa yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Salah satu bentuk kebahagiaan di dunia adalah memiliki harta yang bisa dimafaatkan secara benar. Banyak Hadist yang menyatakan agar seseorang selamat dari kemiskinan dan kefakiran. Misalnya, Rasulullah (saw) menganjurkan untuk rajin membaca surah Al-Wâqi’ah. Nabi (saw) menjamin bahwa barangsiapa yang kerap membacanya, maka tidak akan jatuh miskin. Hal itu rnenunjukkan bahwa boleh saja seorang berdoa untuk memohon kekayaan atau lainnya asal dengan cara yang benar. Mendapat kekayaan di jalan yang halal adalah hal yang sangat terpuji. Nabi Sulaiman sendiri tercatat sebagai seorang Nabi yang kaya raya. Meskipun dalam Hadist disebutkan bahwa rentang waktu masuk surga antara para nabi dengan Nabi Sulaiman adalah selama seratus empat puluh tahun masa akhirat yang jauh lebih panjang dari masa hidup di dunia. Harus diakui, bertarekat adalah dalam upaya mencari ridha dan rahmat Allah. Seorang yang mendapatkan ridha dan rahmat-Nya niscaya akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan itu memang tidak senantiasa berbentuk harta berlimpah, karena itu bisa saja berbentuk lainnya sepenti anak-anak yang cerdas, yang penurut, yang taat agama, hidup yang sehat, disukai tetangga, isteri yang salehah, pekerjaannya lancar, dan lain sebagainya. Tapi, kita tidak bisa mengingkari kemanusiaan kita yang memiliki nafsu, termasuk nafsu duniawi. Jadi, sah saja jika kita meminta rahmat dan ridha Allah juga terselip permohonan duniawi. Selama yang kita minta adalah hal yang tidak bertentangan dengan agama, yang masih dalam jangkauan ridha dan rahmat Allah, maka hal itu tak menjadi masalah.
Minggu, 09 Desember 2007
Tren sufisme kini telah menjadi warna di kota-kota besar di beberapa negara. Tarekat sendiri merupakan organisasi sufisme berdasarkan beberapa aliran. Wirid tarekat itu sama yaitu : La ilaaha illallaah dan Ya Allaah yang dibaca dalam jumlah dan waktu tertentu. Jika tertarik pada tarekat, kita harus melihat seperti apakah tarekatnya? Siapakah yang memimpinnya?. Walaupun zikir-zikir yang kita baca itu ma’tsur (datang dari Rasulullah) namun bisa saja terjadi penyelewengan atau penyimpangan sehingga keluar dari jalur yang benar.
Pada tarekat, yang pertama kali perlu kita perhatikan adalah alirannya, misalnya tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Qodiriyah, tarekat Syadziliyah, tarekat Syattariyah, dan lain-lain. Menurut data pada Jam’iyyah Ahli Thariqah al-mutabaroh an-Nahdziyah (perkumpulan ahli tarekat muktabar Indonesia), jumlah tarekat yang muktabar itu ada sekitar 70 tarekat. Penegasan muktabar atau tidaknya sebuah tarekat, tentu Melalui suatu penelitian. Pertama dari ajarannya, adakah dari ajaran itu yang menyimpang dari ajaran Islam. Kedua dari ketentuan wiridnya, tergolong ma’tsur atau tidak. Selanjutnya jika tarekat yang kita minati itu kita bisa mendatangi dan melihat gurunya. Guru tarekat haruslah orang yang mengerti agama, jika tidak mengerti maka bisa diragukan kapasitas keguruannya. Seseorang yang telah menapak jalur tarekat haruslah sudah sempurna syariatnya. Carilah tarekat yang ringan dan tidak memberatkan.
Beliau adalah ulama kharismatik dari Pekalongan, Beliau mempunyai banyak santri yang menyebar di seluruh Indonesia